Bapak Ibu jama’ah sholat subuh
yang dirahmati Allah, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada kita. Alhamdulilah kita masih tetap sehat wal afiat baik jasmani maupun rohani hingga saat ini, lebih lebih kita masih
diberi nikmat yang berupa iman dan Islam. Marilah kita wujudkan rasa syukur ini
dengan senantiasa patuh
kepada semua perintah Allah dan RasulNya, marilah kita tunjukkan rasa patuh itu dengan mengambil suri tauladan
dan mengamalkan kebiasaan hidup Rasulullah SAW dalam
beribadah maupun bermasyarakat.
Didalam salah satu ceramahnya
yang berkaitan dengan topik ketauladanan Rasulullah SAW, Kiai Anang Ma’ruf dari Klaten Jawa
Tengah mengatakan ISLAM itu merupakan abreviation atau singkatan dari (I) kalau kita INGIN (S)
selamat, maka (L) laksanakan, (A) ajaran,
(M) Muhammad, artinya kalau kita ingin selamat didunia dan di akherat
kelak hendaklah kita mengamalkan apa yang menjadi ajaran Rasulullah SAW, karena
didalam diri Rasulullah itu terdapat uswatun hasanah, contoh suritauladan
tentang segala kebaikan. Rasulullah mengajarkan kepada kita tentang
keseimbangan, hendaklah sebagai orang
Islam kita mesti seimbang dalam beribadah dan bermasyarakat, kalau soleh
didalam beribadah hendaknya juga soleh didalam
bermasyarakat.
Hal ini memang perlu dipertegas
karena masih banyak orang Islam yang salah didalam memaknai perintah ibadah.
Ada yang beranggapan yang paling penting dalam beribadah adalah ritualnya.
Menjalankan sholat, puasa, haji dengan
baik sesuai syarat dan rukunnya cukup sudah. Padahal tidak demikian yang
diajarkan Rasulullah. Ada sebuah contoh
menarik yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran dalam masalah ini.
Didaerah Gresik ada seorang
haji yang biasa dipangil Abah Amin.
Sebagaimana biasa yang namanya pak haji sudah umum kalau rajin pergi ke masjid,
begitu juga dengan Abah Amin, beliau ini sangat rajin pergi ke masjid untuk sholat fardu berjama’ah
di masjid dekat rumahnya. Yang mengagumkan dari Abah Amin ini adalah ketepatan
waktunya, berangkat dan pulang dari masjid setiap hari. Begitu tepatnya sampai
sampai ‘dititeni’ oleh tetangganya.
Kebiasaan Abah Amin ini seperti jam berjalan. Pulang setelah sholat Dzuhur
pasti jam satu siang. Berangkat sholat
Ashar setengah tiga sore, sholat subuh
berangkat jam setengah empat pagi dan seterusnya selalu tepat waktu. Saking
rajinnya dalam bersembahyang sampai
sampai orang dikampungnya ada yang berkata : “ kalau kepingin jadi orang yang baik
dan calon penghuni surga contohlah Abah Amin, bagus sholatnya panjang
wiridnya”.
Meskipun demikian ada yang kurang
sependapat dengan omongan tersebut. Bagi Pak Kasim, Abah Amin cuma baik luarnya
saja tapi dalamnya naudzubilah. Itulah sebabnya ketika ada tetangganya yang
berkata begitu, ia langsung berkomentar : “
Apanya yang baik, mending Pak Ali meskipun belum haji terhadap orang lain
selalu baik. Apa artinya jengkang jengking dimasjid kalau ada orang susah tidak
mau menolong”.
Pak Kasim memang pernah punya
pengalaman pahit dengan Abah Amin, tiga kali pinjam uang belum pernah berhasil.
Pada saat menjelang hari raya untuk membeli pakaian anaknya, ia gagal mendapat
pinjaman. Sudah tidak dipinjami malah dikuliahi. Yang kedua ketika hendak memasukkan sekolah anaknya ke
SMP. Yang paling menyakitkan hatinya yang ketiga ketika istrinya sakit keras
sehingga harus diopname di rumah sakit juga tidak dipinjami. Akhirnya uang itu
ia dapatkan dari Pak Ali. Sejak saat itu rasa hormatnya kepada Abah Amin hilang
dan lebih hormat kepada pak Ali yang memang dikenal suka menolong orang
meskipun belum nglakoni. Nglakoni adalah istilah syariat
agama. Belum nglakoni artinya belum menjalankan agama dengan baik, misalkan kalau
sholat ya masih bolong bolong, kalau puasa Ramadhan ya puasa tutup kendang,
Cuma pembukaan dan penutupan saja.
Didalam kehidupan kita sehari
hari banyak kita jumpai orang seperti Abah Amin atau Pak Ali. Yang satu
mengutamakan ritual dan yang lainnya mengutamakan yang penting berbuat baik.
Mengutamakan segi formal dalam beragama itu baik saja, tapi itu jelas jauh dari cukup jika tidak dibarengi dengan
penghayatan akan pesan moral yang terkandung dalam perintah ibadah tersebut.
Ibaratnya orang yang punya SIM (surat ijin mengemudi) tapi tidak bisa menyetir
mobil karena SIMnya itu diperoleh lewat jalan belakang.
Sebaliknya orang yang mengabaikan
segi formal dalam beribadah dan menganggap yang penting berbuat baik kepada
masyarakat dan lingkungannya sama halnya dengan orang yang pandai mengemudi
mobil tetapi tidak punya SIM sebagai ketentuan formal. Kedua duanya dijalan
raya akan berhadapan dengan polisi lalu lintas. Yang punya SIM berurusan karena
menyerempet mobil orang lain karena tak mahir mengemudi sedang yang pandai mengemudi akan berurusan karena tidak
punya SIM.
Kesimpulannya didalam melaksanan perintah agama orang tidak
bisa seenaknya, mengambil yang mudah meninggalkan yang sulit. Jika dalam
melaksanakan perintah agama orang hanya melaksanakan salah satu saja yaitu
syareatnya atau segi formalnya saja tanpa mau melaksanakan hakekatnya atau
pesan moralnya maka sama halnya orang ingin makan buah durian dia hanya akan
mendapatkan kulitnya saja tanpa pernah merasakan nikmat isinya. Jadi ibadah
yang baik dan benar itu harus seimbang antara ritual dan peduli terhadap lingkungan sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar