Rabu, 26 Desember 2012

SYARATNYA BERIBADAH HARUS PUNYA SIM DAN PANDAI MENGEMUDI



Bapak Ibu jama’ah sholat subuh yang dirahmati Allah, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada kita. Alhamdulilah kita masih tetap sehat wal afiat baik  jasmani maupun rohani hingga saat ini, lebih lebih kita masih diberi nikmat yang berupa iman dan  Islam. Marilah kita wujudkan rasa syukur ini dengan senantiasa patuh  kepada semua perintah Allah dan RasulNya, marilah kita tunjukkan  rasa patuh itu dengan mengambil suri tauladan dan mengamalkan kebiasaan hidup Rasulullah SAW dalam beribadah maupun bermasyarakat.

Didalam salah satu ceramahnya yang berkaitan dengan topik ketauladanan Rasulullah SAW, Kiai Anang Ma’ruf dari Klaten Jawa Tengah mengatakan ISLAM itu merupakan abreviation atau  singkatan dari (I) kalau kita INGIN (S) selamat, maka (L) laksanakan, (A) ajaran,  (M) Muhammad, artinya kalau kita ingin selamat didunia dan di akherat kelak hendaklah kita mengamalkan apa yang menjadi ajaran Rasulullah SAW, karena didalam diri Rasulullah itu terdapat uswatun hasanah, contoh suritauladan tentang segala kebaikan. Rasulullah mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan,  hendaklah sebagai orang Islam kita mesti seimbang dalam beribadah dan bermasyarakat, kalau soleh didalam beribadah hendaknya juga soleh didalam  bermasyarakat.
Hal ini memang perlu dipertegas karena masih banyak orang Islam yang salah didalam memaknai perintah ibadah. Ada yang beranggapan yang paling penting dalam  beribadah adalah ritualnya. Menjalankan sholat, puasa, haji  dengan baik sesuai syarat dan rukunnya cukup sudah. Padahal tidak demikian yang diajarkan Rasulullah. Ada sebuah contoh  menarik yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran dalam masalah ini.

Didaerah Gresik ada seorang haji  yang biasa dipangil Abah Amin. Sebagaimana biasa yang namanya pak haji sudah umum kalau rajin pergi ke masjid, begitu juga dengan Abah Amin, beliau ini sangat rajin  pergi ke masjid untuk sholat fardu berjama’ah di masjid dekat rumahnya. Yang mengagumkan dari Abah Amin ini adalah ketepatan waktunya, berangkat dan pulang dari masjid setiap hari. Begitu tepatnya sampai sampai ‘dititeni’ oleh  tetangganya. Kebiasaan Abah Amin ini seperti jam berjalan. Pulang setelah sholat Dzuhur pasti jam satu siang. Berangkat  sholat Ashar  setengah tiga sore, sholat subuh berangkat jam setengah empat pagi dan seterusnya selalu tepat waktu. Saking rajinnya dalam bersembahyang  sampai sampai orang dikampungnya ada yang berkata : “ kalau kepingin jadi orang yang baik  dan calon penghuni surga contohlah Abah Amin, bagus sholatnya panjang wiridnya”.
Meskipun demikian ada yang kurang sependapat dengan omongan tersebut. Bagi Pak Kasim, Abah Amin cuma baik luarnya saja tapi dalamnya naudzubilah. Itulah sebabnya ketika ada tetangganya yang berkata begitu, ia langsung berkomentar : “ Apanya yang baik, mending Pak Ali meskipun belum haji terhadap orang lain selalu baik. Apa artinya jengkang jengking dimasjid kalau ada orang susah tidak mau menolong”.
 
Pak Kasim memang pernah punya pengalaman pahit dengan Abah Amin, tiga kali pinjam uang belum pernah berhasil. Pada saat menjelang hari raya untuk membeli pakaian anaknya, ia gagal mendapat pinjaman. Sudah tidak dipinjami malah dikuliahi. Yang kedua  ketika hendak memasukkan sekolah anaknya ke SMP. Yang paling menyakitkan hatinya yang ketiga ketika istrinya sakit keras sehingga harus diopname di rumah sakit juga tidak dipinjami. Akhirnya uang itu ia dapatkan dari Pak Ali. Sejak saat itu rasa hormatnya kepada Abah Amin hilang dan lebih hormat kepada pak Ali yang memang dikenal suka menolong orang meskipun belum nglakoni. Nglakoni adalah istilah syariat agama. Belum nglakoni artinya belum menjalankan agama dengan baik, misalkan kalau sholat ya masih bolong bolong, kalau puasa Ramadhan ya puasa tutup kendang, Cuma pembukaan dan penutupan saja.

Didalam kehidupan kita sehari hari banyak kita jumpai orang seperti Abah Amin atau Pak Ali. Yang satu mengutamakan ritual dan yang lainnya mengutamakan yang penting berbuat baik. Mengutamakan segi formal dalam beragama itu baik saja, tapi itu jelas jauh  dari cukup jika tidak dibarengi dengan penghayatan akan pesan moral yang terkandung dalam perintah ibadah tersebut. Ibaratnya orang yang punya SIM (surat ijin mengemudi) tapi tidak bisa menyetir mobil karena SIMnya itu diperoleh lewat jalan belakang.

Sebaliknya orang yang mengabaikan segi formal dalam beribadah dan menganggap yang penting berbuat baik kepada masyarakat dan lingkungannya sama halnya dengan orang yang pandai mengemudi mobil tetapi tidak punya SIM sebagai ketentuan formal. Kedua duanya dijalan raya akan berhadapan dengan polisi lalu lintas. Yang punya SIM berurusan karena menyerempet mobil orang lain karena tak mahir mengemudi sedang yang  pandai mengemudi akan berurusan karena tidak punya SIM.

Kesimpulannya  didalam melaksanan perintah agama orang tidak bisa seenaknya, mengambil yang mudah meninggalkan yang sulit. Jika dalam melaksanakan perintah agama orang hanya melaksanakan salah satu saja yaitu syareatnya atau segi formalnya saja tanpa mau melaksanakan hakekatnya atau pesan moralnya maka sama halnya orang ingin makan buah durian dia hanya akan mendapatkan kulitnya saja tanpa pernah merasakan nikmat isinya. Jadi ibadah yang baik dan benar itu harus seimbang antara ritual dan peduli terhadap lingkungan sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar